Feeds:
Pos
Komentar

Tips Cara menghukum anak memang cukup beragam. Perbedaan perilaku anak hingga pemahaman orang tua dalam mendidik menentukan hukuman yang terjadi. Bagi Anda para orang tua, hukuman yang dimaksud tentu ditujukan demi kebaikan anak, bukan untuk menciptakan trauma berkepanjangan.

Jika dilihat lebih dalam, perilaku anak akan sangat bergantung pada usia, kepribadian, maupun perkembangan fisik dan emosionalnya. Tetapi suatu perilaku bisa dinilai bermasalah ketika dianggap tidak sesuai dengan harapan keluarga, atau jika mengganggu anak itu sendiri.

Kecenderungan Anak
Namun yang mesti Anda ingat, penentuan “normal dan tidaknya” perilaku anak ditentukan oleh faktor sosial, budaya, dan perkembangannya sendiri. Sehingga dengan mengetahui pola perkembangan anak pada usianya masing-masing, Anda diharapkan dapat memutuskan: apakah perilaku tersebut perlu diubah atau masih dalam batas kewajaran.

Anak-anak cenderung berperilaku sesuai penghargaan atau pujian atas sikap mereka. Selain itu, jika tidak ditanggapi atau diabaikan, anak-anak tidak akan mengulangi perilaku tersebut. Sehingga bagi para orang tua, adalah penting untuk konsisten memberikan reaksi atas perilaku anak-anaknya. Jika dalam sebuah kesempatan Anda menganggap perilaku menaiki kursi adalah kewajaran, maka di waktu lain Anda tidak bisa menghukum atau menghentikan perilaku tersebut.

Jadi sebaiknya, para orang tua lebih dulu memutuskan perilaku seperti apa saja yang tidak boleh dilakukan, harus dihentikan, atau dianggap lumrah dilakukan anak pada usianya. Mudahnya, Anda hanya perlu menentukan apakah perilaku tersebut berdampak buruk bagi orang lain atau dirinya sendiri? Bila tidak, maka perilaku tersebut masih dalam batas kewajaran.

Tips Cara menghukum anak Kemudian bila anak dianggap berperilaku buruk dan tidak mengindahkan larangan Anda, hukuman pantas diberikan sebagai bagian dari pendidikan anak. Tetapi jangan berpikir bahwa men-strap anak layaknya siswa sekolah, karena hukuman seperti itu hanya mempermalukan anak di hadapan teman-temannya, tetapi tidak secara langsung mendorong anak melakukan perbaikan perilaku.

Benar bahwa hukuman pada anak berarti “memisahkan” anak dari lingkungannya. Tetapi untuk melakukannya, Anda perlu sebuah tempat yang nyaman dan tidak menakutkan, agar hukuman tersebut tidak menimbulkan trauma pada anak. Padahal, membatasi ruang-geraknya saja sudah menjadi hukuman, jadi Anda tidak perlu menambah hukuman lain dengan alasan mendisiplinkan anak.

Kemudian untuk masa waktu hukuman sendiri hanya boleh berlangsung dalam hitungan menit, atau lebih tepatnya mengikuti usia anak yaitu satu menit untuk setiap usia. Jadi semisal anak Anda berusia tiga tahun, masa hukuman yang pantas baginya tidak boleh lebih dari tiga menit. Hal ini karena menghukum anak dalam waktu panjang hanya akan menimbulkan pertanyaan dan imajinasi lain tentang Anda, sebelum anak memutuskan penilainnya sendiri.

Selanjutnya, Tips Cara menghukum anak jelaskan pada anak bahwa perilaku tadi bukan perilaku yang baik, dan ia tidak boleh mengulangi perilaku itu lagi. Jelaskan pula bahwa ia harus menempuh hukuman tersebut karena sudah lalai mengabaikan larangan Anda, dan tidak boleh melakukan aktivitas lain selama waktu hukuman tersebut.

Bagi Anda sendiri, usahakan menggunakan “tempat hukuman” yang mudah dijangkau dan terpantau oleh Anda. Hal ini agar Anda dapat melihat perkembangan anak selama masa hukuman, dan dapat dengan mudah menghentikan hukuman jika batas waktu berakhir.

Nah, semoga beberapa Tips Cara menghukum anak di atas dapat bermanfaat bagi Anda dan anak Anda.

Meningkatkan minat belajar anak

Meningkatkan minat belajar anak sebenarnya tidak terlalu sulit akan tetapi tidak juga mudah. Cara sederhana dalam meningkatkan minat belajar anak adalah kenali hal-hal apa yg disukai oleh anak dan ajak dia melakukan hal tersebut. Padukan hal-hal yang disukai dengan menambahkan pendidikan di dalam nya. Niscaya minat belajarpun meningkat.

Kuncinya adalah mengetahui apa yg dapat membuat anak tertarik dan ingin belajar. Bagi anak usia delapan tahun kebawah, belajar harus berangkat dari minat si anak itu sendiri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Indonesia Dhanang Sasongko berpendapat, sifat dasar anak adalah senang belajar. Itu bisa terlihat sejak usia dini. Dimulai dari anak belajar berjalan, dia jatuh dan bangkit lagi atas kemauan sendiri.

Sayangnya, lanjut dia, ketika anak menginjak usia empat tahunan, banyak terjadi intervensi orang dewasa, dalam hal ini orang tua. Dengan begitu minat belajar anak sesungguhnya itu menjadi terintervensi. Anak belajar karena kewajiban dan dorongan dari orang tua. “Akhirnya dia menjadi tertekan,” kata Dhanang.

Prinsip dasar belajar anak-anak haruslah menyenangkan . Karena dengan belajar menyenangkan akan menumbuhkan emosional yg positif. Dalam proses belajar, anak harus diposisikan sebagai subjek dan bukan objek. Sebaiknya anak belajar atas inisiatif diri sendiri.

Bila dalam proses belajar, si anak menjadi objek, maka yang banyak melakukan intervensi adalah pendidik. Si anak dijadikan robot dan terlalu banyak diarahkan oleh pendidik. Hasilnya akan membuat anak menjadi malas belajar, belajar tidak efektif.

Dalam system belajar, anak harus ikut terlibat dlm proses pembelajaran. Salah satu caranya mungkin sebaiknya dlm satu kelas jangan sampai terlalu banyak siswa. Problem yg akan terjadi akan ada anak-anak yg merasa tidak diperhatikan. Dengan begitu minat belajarnya karena keterpaksaan.

Solusinya, guru dituntut punya kompetensi dengan kondisi-kondisi yg terjadi sekarang ini. Guru perlu memahami bahwa anak didiknya adalah subjek. “Secara psikologi, guru-guru juga harus memahami keanekaragaman minat belajar anak,” ujar Dhanang.

Dia menyarankan , dalam proses belajar perlu dikembangkan metode pelajaran tematik yg aplikatif. Ada pembahasan-pembahasan atas sebuah masalah. Misalkan soal banjir, mungkin saja dari pembahasan itu mundul ide-ide yg luar biasa dan cemerlang dari anak. Atau dlm pelajaran mengenai stek tumbuhan, anak-anak bisa diajak untuk mempraktikkan langsung dilapangan.

Kalaupun tidak bisa melakukan kegiatan praktik diluar ruang, bisa saja dengan cara menyajikan sejumlah materi tematik dan contohnya via media visual di dalam kelas.

Sebagai contoh, Dhanang menunjukkan apa yg sudah dilakukan di sekolah-sekolah alam. Ternyata anak-anak lebih mudah menyerap pelajaran dengan baik dan menyenangkan.
“Belajar tidak hanya teori. Teori dibutuhkan dalam rangka mengejar standardisasi kurikulum. Tapi untuk mencapai tujuan-tujuan itu, perlu ada media belajarnya yg menyenangkan bagi anak,” kata Dhanang.

Sementara itu, marlina, guru sekolah rumah di Perumahan Bumi Sawangan Indah Depok, mengaku punya trik jitu dlm mengajak anak agar tertarik belajar. Sebelum mulai mengajar, terlebih dulu dia harus mengetahui hal-hal apa saja yg disukainya dan tidak disukai.

“Nah, dari situ bila ada anak yg sedang malas belajar, saya mengajak dia melakukan suatu kegiatan yg disukainya,” katanya. Misalnya anak suka menggambar, sebelum mengajak si anak belajar, terlebih dulu dia di ajak menggambar beberapa saat. Selanjutnya , setelah mood belajarnya bangkit. Barulah si anak diajak belajar lagi.

REWARD YES, PUNISHMENT NO

Sebisa mungkin orang tua memberikan reward atau penghargaan kepada anak atas berbagai prestasi yg dilakukan. Sebaliknya sedapat mungkin menghindari bentuk punishment atau hukuman. Sebab, hukuman yg kelewat batas akan membuat harga diri anak down atau turun.

“Jenjang pendidikan anak masih jauh dan panjang, hasil sebuah proses belajar tidak bisa diukur oleh satu hari, satu minggu atau satu bulan. Tapi merupakan proses berkelanjutan. Untuk itu orang tua perlu memberikan reward dan dorongan, “kata Dhanang Sasongko, sekjen Asah Pena Indonesia .

Menurut dia, dasar untuk mendorong minat belajar anak, kita perlu meningkatkan rasa percaya diri anak. Sebagai contoh : bila anak mendapat nilai matematika jelek, 4, orang tua dpt mendorongnya dengan mengatakan: “Oh iya putra/i dapat nilai 4 ya. Tidak apa-apa dulu ayah/ibu juga pernah kok dpt nilai 4 tapi setelah mencoba memperbaikinya, ternyata ayah bisa berhasil dapat angka 8.

Seorang anak tidak mungkin dapat menguasai semua mata pelajaran. Mungkin ada anak yg unggul disatu pelajaran lain. Kemudian orang tua justru memberikan anak les dipelajaran yg lemah tadi. Sedangkan pelajaran yg unggul justru dilupakan.

Menurut Dhanang , ditinjau dari sudut perkembangan anak , apa yg dilakukan orang tua tadi agak keliru . Kenapa bukan keunggulan si anak tadi yg diasah dan dikembangkan terus. Nah, yg kurang itu hanya sebagai pelengkap.

“Jangan sebaliknya malah yg kurang didorong terus dan dipaksakan sehingga anak menjadi tertekan. Akhirnya, anak menjadi stress dan keunggulannya pun akhirnya hilang,” ujarnya.

Mengenai bentuk reward yg kerap diberikan orang tua ketika anaknya berhasil dalam pelajaran sekolah, Dhanang berpendapat, hal itu boleh-boleh saja sejauh dalam rangka menunjang kegiatan belajar si anak.

Namun, dia mengigatkan, sebisa mungkin nilainya tidak terlalu mahal dan terkesan wah bagi si anak. Ini dimaksudkan agar anak punya standar keinginan atas reward-nya . “Reward diberikan hanya dalam rangka memotivasi anak,” tegasnya

Hal terpenting adalah memberikan kasih sayang kepada anak. Terkadang anak berbuat baik, orangtua tidak memberikan reward karena hal itu dianggap biasa saja, tapi manakala si anak berbuat tidak baik, maka orang tua memberikan reaksi luar biasa dengan memberikan punishment.

Dhanang mengatakan, orang tua harus mengubah paradigma terhadap anaknya. Bahwa anak berbuat baik itu bukanlah hal yg biasa, tapi merupakan suatu hal yg luar biasa.

Jawablah pertanyaan anak dengan jujur, santun, an logis.

Otak atau pikiran anak dapat dibandingkan dengan pita kaset atau CD blank.. Jika tidak berhati-hati memberi rekaman suara, kaset itu akan berisi beragam suara yang tidak mengenakkan telinga dan perasaan. Ketika kaset itu sudah berisi suara-suara yang tidak berkualitas tersebut, kita teramat sulit menghapusnya. Jika toh terhapus, pita itu akan rusak. Oleh karena itu, pita kaset itu harus diisi dengan rekaman-rekaman yang baik, indah, menyejukkan, dan menyehatkan diri dan pendengarnya.

Sedemikian halnya dengan otak anak. Mereka mempunyai daya rekam yang luar biasa. Anak-anak mudah sekali meniru suara yang didengarnya. Jika sudah mampu membaca tulisan, anak akan sering bertanya tentang kosakata asing itu. Mereka selalu dipenuhi rasa ingin tahu. Dan itu perlu strategi untuk menjawabnya. Terlebih, kita menjadi orang tuanya.

Menghadapi anak yang super kritis itu, orang tua harus mempunyai strategi bijak agar anak tidak mencari jawaban secara liar. Menurutku, ada tiga strategi untuk menjawab pertanyaan anak yang super kritis itu. Ketiganya adalah menjaga kejujuran, menggunakan bahasa analogi, dan bersikap ramah. Mari kita kupas ketiganya.

Strategi 1: Menjaga Kejujuran

Ketika ditanya anak tentang suatu hal, orang tua harus bersikap jujur. Maksudnya, orang tua harus menjawab pertanyaan itu secara objektif terukur. Orang tua tidak boleh menolak pertanyaan anak. Mereka itu memerlukan jawaban segera. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh menyesatkan pikiran anak dengan jawaban yang mbulet alias bertele-tele alias berbelit-belit. Jawablah pertanyaan anak itu dengan jujur.

Strategi 2: Menggunakan Bahasa Analogi

Pikiran anak belum mampu memahami penalaran tingkat tinggi. Oleh karena itu, pikiran anak perlu dirangsang dengan penalaran analogi. Penalaran analogi adalah pola berpikir yang menggunakan objek lain sebagai pembanding untuk memudahkan pengembangan gagasan. Pernyataan awal tulisan ini dapat digunakan sebagai contohnya, yaitu penggunaan istilah kaset untuk menggantikan istilah otak atau pikiran anak

Strategi 3: Bersikap Ramah

Anak sering bertanya tanpa mempertimbangkan kesopanan atau etika. Mereka hanya berdasarkan insting atau naluri keingintahuan. Jadi, mereka tidak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu kurang etis ditanyakan. Namun, rasa ingin tahu membangkitkan keberaniannya untuk bertanya. Maka, orang tua tidak boleh menanggapi pertanyaan itu secara emosional. Orang tua harus bersikap ramah agar anak merasa dilayani.

Agresi atau umum disebut sebagai kenakalan anak-anak di sekolah lumrah ditemui. Agresi dianggap wajar selama tidak mengganggu dan merugikan teman-temannya. Anak yang dekat dengan gurunya ternyata lebih kecil kemungkinannya berbuat nakal atau menjadi terget kenakalan teman-temannya.

Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Quebec di Montreal, Laval University, University of Alabama, University of Montreal dan University College Dublin menyimpulkan bahwa anak-anak yang memiliki hubungan baik dengan gurunya dapat terlindungi dari agresi dan menjadi target agresi di sekolah.

“Perilaku agresif pada pertengahan masa kanak-kanak sebagian dijelaskan karena faktor genetik, namun pengaruh genetik terhadap perilaku biasanya tidak bebas dari pengaruh lingkungan,” kata Mara Brendgen, profesor psikologi di University of Quebec di Montreal yang memimpin penelitian seperti dilansir ScienceDaily, Jumat (28/10/2011).

Para peneliti mengamati 217 pasang anak kembar identik dan tak identik (kembar fraternal) berusia 7 tahun di Kanada untuk menyelidiki interaksi antara faktor bawaan dan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi agresi pada anak. Pasangan kembar tidak berada di kelas yang sama, memiliki guru yang berbeda dan teman sekelas yang berbeda.

Teman sekelas menilai perilaku agresif si kembar dan sejauh mana ia menjadi korban agresifitas teman-temannya. Guru si kembar menilai kualitas hubungan si kembar dengan pasangan kembarnya. Efek genetik agresi diukur dengan membandingkan kesamaan perilaku pasangan kembar identik dan fraternal.

Kajian ini menemukan bahwa anak-anak yang secara genetik rentan menjadi agresif cenderung menjadi korban oleh teman sekelasnya. Namun, anak-anak ini dilindungi dari bertindak agresif dan menjadi target agresi anak-anak lain jika memiliki hubungan yang sangat baik dengan gurunya. Hubungan baik tersebut didefinsiakan sebagai hubungan yang hangat, penuh kasih sayang, dan komunikasi yang terbuka.

“Hubungan anak dengan guru dan dengan teman sebaya di sekolah memainkan peran penting dalam membentuk perilaku sosialnya. Kajian kami menemukan bahwa hubungan yang baik dengan guru dapat melindungi anak-anak yang rentan bertindak agresif dan menjadi target perilaku agresif anak-anak lain,” kata Brendgen.

Temuan ini dapat menginformasikan intervensi yang bertujuan untuk mengatasi agresi anak-anak, dan juga dapat digunakan dalam upaya pelatihan guru.

Dalam 3 tahun pertama punya anak seorang ibu lebih dianjurkan untuk tidur dengan bayinya. Menurut penelitian, anak yang tidur dikeloni ibunya sampai umur 3 tahun cenderung memiliki jantung yang lebih sehat.

Anjuran ini disampaikan oleh Dr Nils Bergman, seorang dokter anak dari University of Cape Torn di Afrika Selatan. Dr Bergman juga dikenal sebagai salah satu pelopor gerakan Kangaroo Mother Care, yang menekankan pentingnya kontak fisik antara ibu dan anak.

Dalam sebuah penelitiannya, Dr Bergman mengamati 16 bayi hingga masing-masing berusia 3 tahun. Saat tumbuh dewasa, bayi-bayi yang tidur seranjang dengan ibunya cenderung pnya jantung yang lebih sehat dibanding bayi yang tidur di ranjang terpisah.

Bukan itu saja, bayi yang ditidurkan di ranjang terpisah cenderung mengalami kerusakan di otak yang memicu gangguan perilaku ketika masuk usia remaja. Pengaruhnya di otak salah satunya tampak pada gangguan pola tidur, yakni cenderung tidak pernah nyenyak.

Berbagai penelitian menunjukkan, pola tidur yang tidak baik memang erat kaitannya dengan kesehatan jantung. Ketika seseorang tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak, maka jantungnya akan bekerja lebih keras sehingga lama-lama bisa mengalami stres.

Meski demikian, anjuran Dr Bergman agar anak abyi tidur dengan ibunya hingga umur 3 tahun diyakini akan memicu kontroversi. Bukan karena para bapak akan merasa iri, melainkan terkait dengan penelitian sebelumnya yang justru menganjurkan agar bayi tidur di ranjang terpisah.

Penelitian yang dilakukan di Inggris beberapa tahun silam itu menunjukkan, 2 dari 3 kematian bayi terjadi ketika tidur dengan orangtuanya. Hasil penelitian itu menjadi dasar bagi sebagian pakar, untuk menganjurkan agar bayi tidak dikeloni supaya tidak tercekik.

Namun Dr Berman bersikeras bahwa sebaiknya bayi tetap tidur dengan ibunya, karena kontak fisik antara ibu dan anak terbukti baik bagi jantung. Terkait dengan kematian bayi saat dikeloni, ia berdalih bahwa kematian itu tidak secara langsung dipicu oleh sang ibu.

“Ketika ada bayi tercekik atau sesak napas saat dikeloni, kebanyakan bukan karena ada ibunya di situ. Bisa karena faktor lain seperti asap beracun, rokok, alkohol atau bantal-bantal besar yang sering membekap jalan napas,” ungkap Dr Bergman seperti dikutip dari Telegraph, Sabtu (29/10/2011).